“Kupercayakan dirimu pada langkahmu,” katanya berharap kudengar. Air mataku jatuh tak terbendung. Tak bisa kutahan. Bukan luka, bukan kecewa. Melainkan beruntung mempunyai orang sepertinya. Beruntung memilikinya. Beruntung dibimbing olehnya. Aku! Aku merindukannya. Walau jika kami bersama, hampir tak ada kalimat yang terucap. Nyaris tak ada perbincangan yang kerap kami obrolkan. Hubungan kami terlihat sebatas hening. Masing-masing menyimpan rahasia yang sulit terujar. Rahasia yang sebenarnya tak pantas jadi rahasia, sebab memang bukan sesuatu yang bisa dirahasiakan. Terlihat sederhana tapi rumit dan sangat kompleks.

Setelah kupikir, sampai usiaku hampir mencapai pintu kedua, aku belum mampu mendedikasikan hidupku untuk sekadar menyapa kekhawatirannya yang lalu-lalu. Kesibukannya menafkahiku, keriput wajahnya, bungkuk bahunya, wajah piasnya yang lelah, semangatnya yang gemilang, kecerdasan pilihannya, kedalaman harapannya, hingga kepingan-kepingan hatinya yang hancur karena kenakalanku tidak aku ketahui sampai saat ini. Yang aku tahu, aku hanya sadar bahwa aku beruntung berada dekat dengannya.

Kuingat suatu ketika dia memberikan kebebasan padaku untuk memilih universitas. Walau pada akhirnya ia menyuruhku di universitas yang jauh darinya. Bukan dia yang memilihkanku, bukan juga dia yang memaksaku. Tapi aku yang memilih untuk mengikuti sarannya. Meski sedih hanya bertemu setahun sekali kalau waktu membolehkan.

Tak pernah sekalipun kudapati orang yang tak memaksaku. Kecuali seorang lelaki yang kini telah menua, sebab ditinggalkan jiwa muda yang bekerja keras. Sebab tenaganya habis tercekat kelelahan mencari secawan air. Maka, ia adalah orang yang pantas aku banggakan. Orang yang pantas aku kagumi. Orang yang pantas aku tangisi jika ia pergi. Walau sebenarnya aku tak pernah siap kehilangan sosoknya.

Ia lelaki dingin. Terlalu dingin hingga membuatku merasa bersalah jika melanggar larangannya. Sebab, ia jarang melarangku. Terlihat benar-benar tidak peduli padaku. Tapi kenyataannya, dialah yang memaknaiku. Dia yang mencengkram bajuku ketika aku mulai bertingkah keterlaluan. Dia yang memukuliku saat berkelahi dengan teman lelaki di kelasku. Dia yang menghantamkan kaki di atas kepalaku saat kekhawatirannya memuncak karena aku pergi bermain tanpa izin.

Pernah kulihat matanya memerah. Menghadirkan keheranan di antara keterkesiapanku. Baru kali itu butir-butir kecil mengalir dari sudut matanya. Mengundang tanyaku, siapa yang berani membuatmu menangis? Tapi tak pernah kutanyakan. Entah segan atau takut, aku hanya mencuri-curi pandang ke arahnya sesekali. Sedikit khawatir dan heran, aku berlalu ke kamar untuk mencoba tidak peduli. Bukan tak menyayanginya, tapi aku tak tahu cara menghentikan tangisnya yang baru kulihat pertama kali itu. “Ternyata, kau juga punya sisi rapuh yang tak bisa aku jamahi”.

Diam-diam aku menangis sesenggukan. Terlampau perih kuliat tubuhnya terguncang karena menangis. Aku mengintipnya di celah pintu. Kesedihan apa yang dimilikinya, aku tak tahu. Aku hanya ikut menangis. Pendar-pendar asanya perlahan memudar. Tapi sebabnya aku tak tahu. Aku takut mempertanyakannya. Terlalu banyak hal yang kami anggap biasa dan tak perlu kami perbincangkan lama-lama. Hingga akhirnya kami terbiasa dengan situasi itu. Terbiasa tak memedulikan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa jadi gawat jika tidak diperbincangkan hati-hati. Sampai situasi saat aku harus menampar pipi sendiri untuk menyadarkanku bahwa ini adalah nyata.

Bukan ini yang aku mau. Bukan ini yang aku pikirkan. Bahkan aku tak pernah punya pikiran seperti kejadian hari ini. Hari yang membuatku bingung bukan kepalang. Seluruh ruas-ruas tubuhku dipenuhi rasa kalut. Pikiranku sibuk melogikakan. Juga, hatiku semakin sulit kukendalikan. Sebuah ironi dan kemirisan yang harus kuterima. Memilih lelaki yang ada di dekat daun pintu itu, atau seorang wanita yang matanya telah berkaca-kaca di sisi lain. Kalau aku mampu berpikir jernih, mungkin lebih baik tak memilih salah satu di antara keduanya. sehingga, ketika aku begitu, mereka mau berpikir ulang untuk tak lagi menyuruhku memilih hal yang kuanggap tak masuk akal. Sayangnya, aku pecah.

Aku berada di tengah kebimbangan. Mereka memarahiku karena tak bisa memberi keputusan. “Apa memang harus aku yang memutuskan? Aku tak suka didesak! Aku bingung!” teriakku dalam hati.

Apa makna hening untuk kami? Seonggok harap? Sepiring kesabaran? Secangkir penerimaan? Sepotong ketidaksetujuan? Apa? Kami lebih banyak diam. Tapi ketika ada bara api yang menyala, seketika itu pula api berkobar cepat. Aku adalah air, tapi tak punya cukup keyakinan untuk menghalau kobaran api. Malah aku mulai berpikir, jika aku terjun ke dalam kobaran merah itu, mungkin aku selaksa kapas. Sekejap saja telah dilahap habis karena amarah. Aku tahu kata-kata yang akan keluar dari mulut mereka. “Jangan ikut campur urusan orang dewasa! Kau diam saja! Tentukan pilihanmu!” itu katanya.

“Hentikan! Kalian mau aku bagaimana? Memilih? Memilih siapa dan untuk apa? Jalanan sudah penuh oleh gembel dan tunawisma. Atau kalian ingin aku juga turun ke jalan karena kegagalan kalian bernegosiasi? Apa harga diri perlu setinggi itu ketika kalian punya sesuatu untuk dipertaruhkan? Apa artinya kami?” teriakku setengah menangis.

“Kalian telah saling memilih dan berjanji menghabiskan sisa usia berdua. Apa kalian menyesal karena sudah memilih orang yang salah? Orang bagaimana yang kalian inginkan? Kalian punya tanggung jawab terhadapku. Aku tidak ingin dipegang dengan satu tangan. Aku ingin keduanya. Egois memang. Tapi jika aku menelantarkan egoku kali ini, aku kehilangan kedua mataku. Aku akan buta dan tak dapat memilah hidupku sendiri” tambahku.

Mereka diam. Mungkin tak percaya aku punya celoteh sepanjang itu. Mereka mungkin juga berpikir, selama ini aku menampung kekesalanku ketika mereka bertengkar satu sama lain. Hingga akhirnya bom waktu itu meledak. Aku hanyut dalam tangis yang belum sepenuhnya lega. “Tolonglah! Aku juga bagian dari kalian” kataku lagi masih terisak.

Ada guratan yang sedari tadi kulihat tegang di antara keduanya, kini mulai mengendur pelan. Sejentil harapan mengudara di pori-pori dadaku. Kusembunyikan senyum karena belum saatnya kuperlihatkan. Aku berasa, semoga mereka tak lagi tersulut. Jadi, aku masih bisa melanjutkan belajarku untuk bersabar.

Aku adalah aku,

Dia adalah ayahku, dan si hening sedang mendamaikan kami.

Makassar, 16 November 2012