Mawas

Aku tiba-tiba meragu ketika pelan-pelan ia mendesakku. Aneh saja. Aku masih punya banyak angan-angan dan mimpi yang ingin kukejar, lalu terpatahkan ketika disuruh berpikir tentang pernikahan. Sesuatu yang tidak pernah aku duga harus aku pikirkan ketika umurku masih 21 tahun. Aku anak pertama, punya cita-cita agar aku mampu menghadiahkan sesuatu untuk kedua orang tuaku dan diriku sendiri. Aku mau menikmati kehidupanku sendiri dulu tanpa bergantung pada siapapun. Meski memang menikah juga salah satu impian terbesarku, tapi bukan berarti harus secepat ini kan? Aku tahu mimpi juga bisa dikejar ketika sudah menikah. Bukan apa-apa,  hanya saja kurasa waktunya belum tepat saja. Yeah, i know, kalau waktu memang tidak pernah tepat. Tetapi setidaknya beri aku ruang untuk mempersiapkan diri. Aku juga tidak mau diikat pada orang tuaku bahwa jangan menyerahkanku pada yang lain selain padanya. Kau tahu itu tidak baik dan sedikit merugikan untuk perempuan. Apalagi cinta adalah sesuatu yang dapat habis, maka ketika aku bersedia benar-benar menerima lalu dia telah berpaling, lalu apa yang tersisa untukku selain janji? Bukankah itu sangat merugikanku? Lagi-lagi aku tahu kalau ini bukan persoalan untung atau rugi, tapi lebih kepada mawas diri. Keyakinan itu penting, dan aku belum memiliki keyakinan itu. Seharusnya kami saling mencari diri masing-masing dulu. Tenanglah, kalau jodoh takkan ke mana. Percaya saja janji Tuhan. Lagipula hidup bukan tentang akhirat saja atau dunia saja, tetapi ada titik equilibrium (keseimbangan) di antara keduanya. Kau juga tahu itu kan?