Kado

Waktu itu hujan turun begitu derasnya ketika aku hendak pulang. Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri di pinggir sungai. Aku berlindung dan merangkulnya dari belakang. Kutengok aliran sungai yang keruh di depannya. Ini bukan tentang kebodohan, tapi tentang cara bertahan hidup. Aku dan lelaki yang kurangkul itu harus menyeberangi sungai yang arusnya kuat, pulang.

Sebuah panggilan wawasan datang menjemput lelaki itu, hingga mengharuskannya pergi jauh dariku dan perempuan di rumahku. Waktu itu aku tidak paham tentang kesulitan. Aku juga tidak paham tentang kebahagiaan. Yang aku tahu, perempuan yang memasak di dapur rumahku itu mengajarkan aku untuk menjalanani hidup apa adanya. Bermain saja dengan anak-anak lain. Anehnya, di lingkunganku sedikit sekali anak-anak perempuan sebayaku. Jadi, aku berteman dengan laki-laki. Hingga aku besar, kebiasaanku adalah berteman dengan banyak kaum adam.

Kupikir tidak akan ada masalah jika aku tetap berteman dengan kaum adam. Toh kami saling menjaga. Tapi maraknya keedanan dunia, aku terkena imbasnya. Larangan demi larangan meluncur satu persatu dari mulut perempuan dewasa dan laki-laki dewasa yang pertama kali kukenal itu. Aku tahu kekhawatiran mereka. Aku juga sudah tahu batasanku sebagai perempuan. Tapi aku berterima kasih sajalah karena memang tugas mereka meluruskan jalanku yang bengkok.

Aku tidak tahu bagaimana ceritaku beberapa hari ke depan. Hanya saja aku punya target untuk membayar ketampanan lelaki itu yang perlahan hilang karena ditindih nafkah dan kelelahan dikejar waktu. Aku punya hutang yang takkan terbayar walau kubaktikan seluruh hidupku seperti yang ia lakukan. Nilainya akan selalu lebih besar dari nilaiku. Bukan karena dia lebih dahulu punya ruh dibanding aku, tetapi dia yang memberiku hingga aku bisa memberinya kembali.

Sehat selalu dalam lindungan Ilahi Rabbi, agar aku juga bisa menjamah kehidupan yang seperti engkau jalani tanpa pernah mengeluh. Kalau aku bisa, berarti aku berhasil membuktikan bahwa aku memang benar ankmu.